Teknik Pengamatan Astronomis Terbaik untuk Rukyat yang Lebih Baik
Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB
LEMBANG, 7 Maret 2019 – Tim Peneliti Hilal dari Observatorium Bosscha membuat kekaguman berbagai pihak saat mempresentasikan hasil penelitiannya pada acara Sarasehan Pengamatan Hilal Rajab 1440 H dan Sosialisasi “Dark Sky Preservation” pada hari Kamis lalu (7/3/2019). Pasalnya, mereka menorehkan catatan rekor, yakni menjadi orang kedua di dunia yang berhasil mengamati Bulan saat “berusia” nol jam. Selain itu, mereka juga berhasil memotret hilal dengan konjungsi di bawah 6 derajat (3,29 derajat) dan memotret hilal dengan ketinggian hampir nol derajat. Bandingkan dengan kriteria ketinggian 2 derajat yang digunakan oleh NU atau kriteria Wujudul Hilal Muhammadiyah yang juga menggunakan ketinggian yang serupa! Mereka berhasil melakukannya dengan teknik pengamatan astronomis yang ampuh dengan persiapan dan instrumen yang “ekstrem”. Menurut Muhammad Yusuf, seorang peneliti hilal dari Observatorium Bosscha ITB, jika di masa depan data seperti ini banyak diperoleh, bisa jadi kriteria yang digunakan oleh ormas-ormas tersebut menjadi tidak relevan dan dapat berubah.
Sebenarnya tidak ada teknik khusus yang digunakan oleh tim beliau, tetapi teknik pengamatan astronomis biasa. Artinya, beliau mengamati bulan layaknya bintang-bintang, yakni dari terbit hingga terbenam. Yang membuat sulit adalah kondisi atmosfer dan bulan itu sendiri ketika memasuki fase awal. Bulan purnama mempunyai tingkat iluminasi 400 kali lebih lemah daripada Matahari. Padahal, iluminasi bulan saat hilal adalah kurang dari 1% dibanding saat bulan purnama. Redupnya cahaya bulan diperparah oleh efek kontras yang sangat rendah akibat cahaya Matahari yang begitu dekat dengannya.
Atmosfer Bumi juga turut memperburuk keadaan ketika kita mengamat bulan di ufuk Barat. Hal ini karena kita harus menghadapi langit sore yang beratmosfer tebal mengurangi intensitas cahaya hilal yang sudah redup. Selain itu, efek hamburan dari cahaya matahari saat sore juga menghasilkan banyak cahaya merah yang tidak diperlukan. Namun, ketika cuaca tidak mendukung dan awan menghalangi, tidak ada lagi cara untuk mengamati hilal, kecuali dengan panjang gelombang lain, seperti radio.
Untuk menghadapi hal tersebut, mereka pun mempersiapkan berbagai hal. Pertama, mereka mengamati hilal dari lokasi yang kering dan cuacanya mendukung, serta terlindungi dari gangguan alam lainnya (seperti angin, hewan buas, dan lainnya). Selanjutnya, untuk mengurangi hamburan cahaya yang tidak diperlukan, mereka menggunakan baffle, sebuah benda yang berisi kisi-kisi yang mencegah cahaya yang mengganggu masuk (seperti cahaya Matahari) dan memantul-mantul “liar” di dalam teleskop. Kemudian, dari sisi teleskop, jelas dibutuhkan teleskop dengan kualitas yang tinggi, namun tetap cocok dengan kondisi kita. Misalnya, diameternya tidak boleh terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Jika diameter teleskop terlalu besar, maka semakin banyak cahaya yang dikumpulkan oleh teleskop, termasuk cahaya-cahaya yang mengganggu. Namun, ketika diameter terlalu kecil, maka cahaya hilal yang sangat redup tidak mungkin dapat terlihat. Untuk memperoleh citra sekaligus data, maka dibutuhkan perangkat dan software yang prima. Sensor yang sangat sensitif terhadap kontras yang rendah dan teknik pengolahan citra dari software yang bagus, namun tetap ringan agar hasilnya dapat diolah secepat mungkin/se-real time mungkin.
Peran Ulama dan Santri
Hilal merupakan pertanda awal sebuah bulan dalam kalender hijriah. Selama ini terdapat dua cabang besar metode penentuannya, yakni rukyat dan hisab. Secara umum, rukyat berarti melihat hilal dengan pengamatan secara langsung, sedangkan hilal berarti menggunakan perhitungan berdasarkan pola-pola gerak benda langit. Keduanya sama-sama mempunyai dalil yang kuat, tetapi hasil akhir kedua metode tersebut kerap berbeda. Misalnya adalah penentuan tanggal satu Ramadhan dan satu Syawal yang berbeda-beda di seluruh dunia. Sungguh ironis bahwasanya dalam memandang fenomena alam yang sama dan bergerak dengan sunnatullah yang pasti teratur bisa terjadi perbedaan kesimpulan hanya karena perbedaan pendekatan. Hal ini memalukan kita sebagai salah satu umat terbesar di dunia yang hidup di tengah zaman kejayaan sains dan teknologi seperti sekarang.
Sebenarnya sudah banyak sekali upaya umat Islam dari kalangan intelektual untuk menggunakan sains dan teknologi dalam menentukan awal kalender hijriah secara lebih akurat dan obyektif. Dalam rukyat misalnya, ada upaya untuk menangkap citra hilal dengan teleskop, merekamnya secara live streaming, menggunakan panjang gelombang radio untuk menembus atmosfer, atau menembakkan laser ke Bulan. Salah satunya, tentu teknik pengamatan astronomis seperti yang dijalankan oleh tim peneliti Observatorium Bosscha ITB.
Sayangnya, pengamatan hilal adalah bidang yang kurang diminati banyak orang sehingga data yang diperoleh masih sedikit. “Biasanya yang tertarik dengan bulan sabit adalah pengamat hilal dan jumlah pengamat hilal itu sedikit sekali. Orang selain saya (orang pertama yang berhasil mengamati bulan ketika ‘berusia’ nol jam), (itu) astronom amatir, kebetulan suka ngamat di siang hari. Praktisinya sedikit (dan) secara teknis itu sulit sekali. Harus (membutuhkan) persiapan ekstrem, instrumen ekstrem,” ungkap beliau. Di masa depan, diharapkan semakin banyak orang yang menjadi praktisi sehingga data yang diperoleh semakin banyak dan teknik pengamatan hilal dapat terus diperbaiki dan dikembangkan.
Selain itu, dikotomi antara ilmu dunia (sains astronomi) dan ilmu agama (falak) masih begitu kental di kalangan masyarakat, terutama warga nahdhiyyin. Biasanya, orang akademis hanya mengurusi sainsnya dan para santri hanya mengurusi fikihnya. Akibatnya, ketika orang akademis menghasilkan inovasi, mereka tidak tahu apakah inovasi tersebut memenuhi syarat atau rukun sahnya pengamatan hilal. Kemudian, ketika para santri hanya menggeluti dalil dan kitab kuning, yang biasanya merupakan tabulasi perhitungan dan data pengamatan dari waktu ke waktu, tanpa dibantu instrumen dan sains yang lebih akurat, maka selamanya mereka harus melakukan koreksi. Koreksi ini pun belum tentu disetujui semua pihak dalam pembahasan bahtsul masail, misalnya.
Salah satu harapan dari Mas Ucup, sapaan akrab peneliti tersebut, adalah muncul praktisi yang menguasai teknik pengamatan ini dari kalangan ulama. Pasalnya, menurut beliau, selama ini masih banyak pengamat hilal yang kurang terampil dalam menggunakan teleskop dan persiapannya masih kurang. Contohnya, ketika mengamati hilal saat menjelang maghrib, mereka baru persiapan pukul 4, padahal setidaknya harus dilakukan polar allignment minimal semalam sebelumnya.
Penguasaan konsep astronomi dan teknik pengamatan sangatlah penting. Dengan menguasai konsep astronomi, kita akan paham dengan apa yang akan kita lakukan dalam teknik pengamatan. Dengan menguasai teknik pengamatan, kita dapat mengarahkan instrumen kita dengan akurat di langit dan mendapat citra yang bagus.
Dengan demikian, antara fatwa dan fenomena fisisnya dapat lebih sinkron dan lebih ilmiah. Selain itu, kekhawatiran akan terhalanginya inovasi sains dan teknologi dapat diminimalisasi karena munculnya inovasi itu sendiri muncul dari dalil-dalil agama. Selain itu, umat Islam juga tidak bisa terus bergantung pada penelitian para akademisi karena urusan mereka bukan hanya terbatas mengenai hilal dalam kalender Islam, melainkan sains mengenai hilal itu sendiri.
Penulis: M. Fikri A. N. (AS'17)
Reporter: Shinta Wulandari S. (AS '16)
Narasumber: Muhammad Yusuf
Komentar
Posting Komentar