Langsung ke konten utama

Isu Lockdown Matahari, Benarkah?


Isu Lockdown Matahari, Benarkah?

Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB

Akhir-akhir ini, sejak tiga minggu lalu, jagad medsos dihebohkan oleh isu lockdown Matahari. Dinarasikan bahwa NASA telah mengumumkan Matahari sedang masuk ke dalam fase lockdown. Hal ini mirip dengan karantina yang dilakukan manusia dalam menghadapi wabah Covid-19.

Karena kemiripan tersebut, banyak masyarakat yang salah kaprah mengaitkan keduanya dengan virus Covid-19. Banyak juga yang menyalahkan peristiwa tersebut karena cuaca ekstrem yang terjadi. Lebih jauh lagi, mereka mengaitkan peristiwa tersebut sebagai tanda-tanda kiamat besar, walaupun penjelasan lockdown Matahari tidak pernah ada di hadits atau al-Qur’an. 

Bagi astronom, istilah lockdown Matahari sebenarnya tidak pernah dikenal. NASA yang dikatakan itu juga tidak pernah mengeluarkan berita dengan istilah tersebut. Yang dikenal di kalangan akademisi adalah fase solar minimum. Maksudnya adalah fase yang dialami Matahari dalam siklus 11-tahunnya di mana aktivitasnya paling rendah. Aktivitas minimum ini ditandai dengan sedikitnya bintik Matahari yang diamati.

Aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas magnetik yang terjadi di sana. Akibat gerakan plasma di dalam Matahari, muncul daerah-daerah yang tampak lebih gelap dibanding sekitarnya yang disebut sebagai bintik Matahari. Bintik Matahari merupakan fenomena sementara dan kemunculannya dapat diprediksi. Jumlah dan lokasi kemunculan bintik-bintik itu mengikuti suatu siklus dengan periode sekitar sebelas tahun.

Siklus 11 tahun pertama kali dicatat pada tahun 1755-1766. Dihitung sejak itu, siklus Matahari sudah berlangsung 24 kali, dengan siklus terakhir terjadi pada tahun 2008-2020. Oleh karena itu, siklus Matahari ini disebut juga sebagai Siklus 24 Matahari. 

Siklus ini kembali mulai pada bulan April 2020. Setelah berakhir Siklus 24 Matahari, kita akan masuk ke dalam Siklus 25 Matahari. Setelah mengalami solar minimum, aktivitas Matahari akan kembali meningkat hingga mencapai puncak dalam waktu 4-5 tahun mendatang. Puncak siklus diprediksi terjadi pada pertengahan tahun 2025 nanti. Tingkatnya akan tidak jauh berbeda dengan puncak siklus 24 Matahari.
Jumlah bintik-bintik Matahari juga akan meningkat dan mencapai maksimum pada saat itu. Kemudian, jumlah bintik-bintik Matahari akan kembali surut dalam waktu 6-7 tahun setelah melewati fase puncak. Matahari akan kembali mengalami fase solar minimum dan memulai siklus lagi. Jadi fenomena ini merupakan fenomena biasa yang rutin terjadi di alam. Fenomena ini juga tidak terkait sama sekali dengan wabah Covid-19 atau cuaca ekstrem akibat perubahan iklim di Bumi.

Meskipun begitu, memang benar bahwa radiasi cahaya yang dipancarkan Matahari saat solar minimum menjadi berkurang. Sering terjadi pula aktivitas Matahari menjadi jauh lebih tenang sehingga bintik-bintik Matahari yang diamati jauh lebih sedikit, bahkan hampir tidak ada sama sekali. Energi yang dipancarkan Matahari juga jauh lebih kecil daripada biasanya. Peristiwa tersebut disebut sebagai grand solar minimum. Inilah yang terjadi pada tahun 2020.

Kebetulan bahwa terakhir peristiwa tersebut terjadi, Bumi sedang mengalami “zaman es kecil”. Sekitar pada tahun 1650-1715, Matahari mengalami aktivitas yang luar biasa rendah. Temperatur Bumi pun turun. Turunnya temperatur Bumi oleh aktivitas Matahari yang sangat rendah secara kebetulan diiringi oleh efek aerosol vulkanik yang memperkuat efeknya. Akibatnya, terjadilah “zaman es kecil” itu. 

Menurut NASA, beberapa ilmuwan memang memprediksi bahwa aktivitas Matahari yang sangat rendah di akhir siklus 24 tahun ini akan memulai periode grand solar minimum pada beberapa dekade ke depan. Tetapi mereka juga menyatakan bahwa efek grand solar minimum hanya akan memberikan kontribusi climate forcing -0,1 W/m2. Jumlah ini setara dengan kontribusi oleh peningkatan konsentrasi CO2 selama tiga tahun.

Jika dibandingkan, efek pemanasan akibat emisi gas rumah kaca dari pembakaran fosil manusia enam kali lebih besar daripada efek pendinginan akibat grand solar minimum yang terjadi berdekade-dekade lamanya. Artinya, “zaman es” tidak akan kembali terjadi lagi. Efek pendinginan global akan tertutupi efek pemanasan global. Bukannya mendingin, Bumi masih terus memanas.

Karena pemanasan global itulah sebenarnya cuaca ekstrem dan musim yang berubah terjadi. Bumi sedang mengalami perubahan iklim, entah menuju yang lebih baik atau lebih buruk bagi kehidupan. Jika kita masih tidak peduli akan kerusakan yang kita perbuat pada alam, dalam beberapa tahun ke depan, kita akan berada pada point of no return. Di titik itu, perubahan iklim sudah sedemikian rupa sehingga mustahil untuk membuat Bumi berubah seperti sedia kala, bahkan jika manusia menghentikan aktivitasnya. Hal ini senada dengan Pachauri et al. (2014) yang menyatakan bahwa “tanpa upaya mitigasi tambahan di luar yang sudah ada sekarang, dan bahkan adaptasi, pemanasan global pada akhir abad ke-21 akan menyebabkan risiko tinggi hingga sangat tinggi, berdampak luas, dan tidak dapat lagi dipulihkan secara global.”

Manusia memang memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan di muka bumi, seperti yang di atas bumi, seperti yang diungkapkan pada QS Al Baqarah ayat 205, yakni “Dan bila manusia memegang kuasa, ia berjalan di Bumi untuk berbuat kerusakan di atasnya…”. Namun, Allah juga berfirman dalam QS Al Araf ayat 56 yang artinya, “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di muka Bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…”. Semoga hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua sehingga lebih peduli terhadap lingkungan, bukan hanya potensi bencananya.

Dimuat pada 12 Juni 2020 di https://harakah.id/lockdown-matahari-sebagai-tanda-tanda-kiamat-benarkah/

Referensi
https://climate.nasa.gov/blog/2953/there-is-no-impending-mini-ice-age/
https://science.nasa.gov/science-news/news-articles/solar-minimum-is-coming

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB Tahukah kalian apa itu Big Bang ? Big Bang adalah teori awal alam semesta yang menyatakan bahwa alam semesta ini bermula dari suatu titik yang tak hingga kecilnya, kemudian mengembang menjadi sebesar ini. Sejarah munculnya teori ini mengandung kisah dramatis tentang pencarian jawaban atas pertanyaan filosofis mengenai alam semesta, konflik laten bagi kaum agamawan, yang diakhiri dengan kemenangan Tuhan. Kita awali kisah ini dengan sebuah kesalahan persepsi yang populer. Banyak orang menyebut Big Bang sebagai “ledakan besar” dalam arti yang sebenarnya. Padahal nama “Big Bang” hanyalah ledekan dari Fred Hoyle, ilmuwan yang mendukung teori pesaing Big Bang, yakni teori Steady State  atau Keadaan Tunak. Dahulu para ahli kosmologi berdebat panjang mengenai alam semesta. Salah satunya, apakah alam semesta ini mempunyai awal atau sejak dulu memang seperti ini alias abadi? Hal ini memicu lahi

Smart Tech, Dumb People

Smart Tech, Dumb People Ilustrasi Singularitas Teknologi. Sumber gambar: https://s27389.pcdn.co/wp-content/uploads/singularity-1000x440.jpg Oleh: Fikri Aulyanor 15 Januari 2019 Sebenarnya, alasan manusia menciptakan teknologi adalah untuk membuat segala pekerjaannya menjadi cepat, efektif, dan efisien. Setelah muncul otomasi dan Internet, dan sekarang ditambah AI (Artificial Intelligence), produktivitas manusia sangat meningkat pesat dengan effort yang sangat minimal. Jelas, kehidupan manusia sangat jauh lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Maka dari itu, jika kita mendengar kata “teknologi”, otak kita selalu menganggapnya “baik“. Bagaimana tidak, siapa yang tidak ingin hidup mudah tanpa bersusah payah? Namun, bagaimana jika teknologi ternyata merupakan suatu bentuk penyebab “kemalasan” manusia? Atau yang lebih ekstrem, teknologi diartikan sebagai “pelemahan” terhadap segala lini kehidupan manusia, termasuk intelektualitas. Dalam artian, kemudahan teknologi, membuat manu

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal Ilustrasi. Sumber gambar:  https://web.facebook.com/observatorium.bosscha/posts/lembang-1-september-2016-pada-pukul-0801-wib-pagi-hari-tadi-observatorium-bossch/1079902765391761/?_rdc=1&_rdr by Warstek Media / 04 Agustus 2019 Ditulis Oleh Mohamad Fikri Aulya Nor Tim Peneliti Hilal dari Observatorium Bosscha membuat kekaguman berbagai pihak saat mempresentasikan hasil penelitiannya pada acara Sarasehan Pengamatan Hilal Rajab 1440 H dan Sosialisasi “Dark Sky Preservation” pada hari Kamis, 7 Maret 2019. Setelah melakukan penelitian pengamatan hilal dari tahun 2012, mereka akhirnya menorehkan catatan rekor hebat. Mereka berhasil menjadi orang kedua di dunia yang berhasil mengamati Bulan saat “berusia” nol jam atau tepat saat fase awal atau bulan baru. Mereka menangkap citra tersebut dari dua tempat, yakni Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil citra yang didapatka