Langsung ke konten utama

Tahun 2020, Tahun Kenormalan Baru


Tahun 2020, Tahun Kenormalan Baru

Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB

Awal Juni 2020, banyak daerah yang sudah mulai menerapkan AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru) atau sering disebut sebagai new normal. Tempat-tempat umum, seperti masjid, sudah mulai kembali dibuka. Layanan jasa transportasi roda dua diperbolehkan kembali beroperasi. Namun, masyarakat diminta untuk tetap mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah peredaran wabah Covid-19. Apabila hal ini dilanggar, dikhawatirkan gelombang kedua wabah akan terjadi.

Wabah Covid-19 bukan hanya mendorong terjadinya new normal di Tanah Air, melainkan seluruh masyarakat dunia. Bahkan jika di negara tersebut angka pasien Covid-19-nya menurun atau bahkan nol, perekonomian, politik, dan tatanan kehidupan sebagainya pasti terpengaruh. Kita hidup di era global di mana semua negara, bahkan semua orang saling terhubung dan mempengaruhi walaupun tidak secara langsung. 

Alam pun tak luput mempengaruhi dan dipengaruhi oleh ulah manusia. Contohnya ketika wabah ini menyerang, manusia nyaris dipaksa untuk menghentikan aktivitasnya, termasuk yang merusak Bumi. Menurut Sulaman Muhammad et al. (2020), selama lockdown atau karantina wilayah di beberapa episentrum wabah, seperti Wuhan, Italia, Spanyol, dan Amerika Serikat, tingkat polusi berhasil menurun hingga 30%. Hasil ini diperoleh dari data yang dikeluarkan oleh NASA dan ESA melalui fasilitas penginderaan jauhnya. Di tanah air, beberapa media juga mengabarkan tentang betapa cerahnya langit Jakarta dan betapa bersih udaranya setelah melakukan PSBB.

Bicara mengenai new normal atau kenormalan baru, Covid-19 bukan satu-satunya aktor yang berperan. Berkali-kali kita dihebohkan oleh perilaku manusia atau alam yang besar dan independen, tetapi secara kebetulan terjadi di tahun yang sama.

Pertama, kita masih ingat mengenai ancaman perang dunia ketiga. Perang besar yang bakal melibatkan banyak negara di dunia ini diperkirakan kembali terjadi akibat percikan api yang disulut oleh pemerintah Amerika Serikat. Sebuah drone menyerang rombongan pemimpin Pasukan Quds Iran pada tanggal 3 Januari lalu. Ketegangan sempat terjadi, sebelum akhirnya mereda dan kemungkinan perang besar menjadi surut.

Selain itu, awal tahun juga menunjukkan ancaman krisis iklim yang semakin nyata. Kebakaran hutan hebat terjadi di Australia. Karena bencana tersebut, beberapa pemerintah bagian bahkan sempat menyatakan keadaan darurat. Akibatnya, lebih dari 11 juta hektar lahan terbakar dan sekitar 500 juta hewan tewas. 

Meskipun musim kebakaran sering terjadi, tetapi tahun ini adalah yang terburuk. Perubahan iklim menghasilkan cuaca yang ekstrem dan berbeda daripada sebelumnya. Lebih tepatnya, hal ini dipicu oleh terjadinya Indian Ocean Dipole (IOD) yang menyebabkan sisi timur samudera Hindia menjadi dingin dan kering, sedangkan sisi baratnya menjadi panas dan lembab.

Pada tahun 2020, selain isu bumi datar yang semakin kehilangan pamor, isu rasisme ternyata masih kental terjadi. Di negara yang besar seperti Amerika Serikat, contohnya. Unjuk rasa besar-besaran yang bertajuk #BlackLivesMatter terjadi di sana, walaupun negara tersebut masih berperang dengan wabah Covid-19. Hal ini dipicu oleh kematian seorang warga kulit hitam, George Floyd, oleh oknum kepolisian yang berkulit putih. Permasalahan ternyata lebih mendalam, sehingga kematian Floyd menjadi simbol perlawanan atas terjadinya diskriminasi terhadap kelompok ras tertentu yang terjadi selama ini.

Seakan semua hal tersebut belum mampu membawa Bumi menuju era yang benar-benar berbeda daripada sebelumnya, kejadian dari luar angkasa ikut berperan. 

Secara kebetulan, tahun 2020 merupakan tahun dari dimulainya siklus baru Matahari. Sebelumnya, beberapa ilmuwan sempat khawatir akan terjadi zaman es mini karena bintik-bintik Matahari tak kunjung teramati. Bintik-bintik Matahari merupakan indikator tingkat keaktifan Matahari. 

Hal ini juga menimbulkan isu “Matahari Lockdown” karena dikaitkan dengan karantina akibat wabah Covid-19. Namun, NASA sudah membantah hal tersebut sejak bulan Februari 2020. Mereka mengatakan, minimumnya aktivitas Matahari memang dapat menyebabkan penurunan temperatur Bumi. Tetapi akibat pemanasan global, efek tersebut ditiadakan. Bahkan temperatur Bumi masih tetap memanas. Ini merupakan hal yang baru pertama kali dialami Bumi.

Selain temperatur Bumi, aktivitas Matahari juga mempengaruhi medan magnet Bumi. Hal ini berdampak pada sistem komunikasi yang mengandalkan sinyal elektromagnetik di permukaan Bumi. Selain itu, komponen elektronik satelit-satelit juga bisa terganggu. Hal ini terjadi jika aktivitas Matahari begitu tinggi, seperti saat terjadinya badai Matahari.

Setelah membaca beberapa peristiwa besar yang terjadi selama 2020 ini, kita patut berefleksi. Dengan adanya peristiwa-peristiwa tersebut, masa depan umat manusia, bahkan kehidupan di Bumi, mungkin menjadi benar-benar berbeda dari sebelumnya. Manusia mungkin bisa memprediksi, tetapi banyak hal tak terduga yang terjadi. 

Jujur saja, ketika kita mulai melangkahi tahun ini, kita tidak pernah menduga bahwa besok perang dunia bisa terjadi. Kemudian melangkah lagi, ternyata cuaca ekstrem mendadak muncul di depan kita. Lalu melangkah lagi, tiba-tiba wabah muncul dan seluruh dunia tidak bisa beraktivitas seperti biasa. Karena waktu terus bergerak maju, kita pun terpaksa melangkah lagi dan tak tahu apa lagi yang akan terjadi. 

Seakan-akan di tahun ini, cobaan Tuhan bertubi-tubi turun terhadap umat manusia. Mereka tidak tahu kapan giliran masing-masing. Oleh karena itu, dosa-dosa perlu disadari untuk kemudian bertaubat. Sebagai makhluk Bumi, kelestarian lingkungan perlu lebih mereka perhatikan. Sebagai manusia, antarsesamanya perlu lebih saling mengerti. Sebagai hamba Tuhan, tujuan hidupnya perlu lebih dipikirkan karena mereka akan mengalami hidup yang tidak biasa di babak yang baru. Kenormalan baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB Tahukah kalian apa itu Big Bang ? Big Bang adalah teori awal alam semesta yang menyatakan bahwa alam semesta ini bermula dari suatu titik yang tak hingga kecilnya, kemudian mengembang menjadi sebesar ini. Sejarah munculnya teori ini mengandung kisah dramatis tentang pencarian jawaban atas pertanyaan filosofis mengenai alam semesta, konflik laten bagi kaum agamawan, yang diakhiri dengan kemenangan Tuhan. Kita awali kisah ini dengan sebuah kesalahan persepsi yang populer. Banyak orang menyebut Big Bang sebagai “ledakan besar” dalam arti yang sebenarnya. Padahal nama “Big Bang” hanyalah ledekan dari Fred Hoyle, ilmuwan yang mendukung teori pesaing Big Bang, yakni teori Steady State  atau Keadaan Tunak. Dahulu para ahli kosmologi berdebat panjang mengenai alam semesta. Salah satunya, apakah alam semesta ini mempunyai awal atau sejak dulu memang seperti ini alias abadi? Hal ini memicu lahi

Smart Tech, Dumb People

Smart Tech, Dumb People Ilustrasi Singularitas Teknologi. Sumber gambar: https://s27389.pcdn.co/wp-content/uploads/singularity-1000x440.jpg Oleh: Fikri Aulyanor 15 Januari 2019 Sebenarnya, alasan manusia menciptakan teknologi adalah untuk membuat segala pekerjaannya menjadi cepat, efektif, dan efisien. Setelah muncul otomasi dan Internet, dan sekarang ditambah AI (Artificial Intelligence), produktivitas manusia sangat meningkat pesat dengan effort yang sangat minimal. Jelas, kehidupan manusia sangat jauh lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Maka dari itu, jika kita mendengar kata “teknologi”, otak kita selalu menganggapnya “baik“. Bagaimana tidak, siapa yang tidak ingin hidup mudah tanpa bersusah payah? Namun, bagaimana jika teknologi ternyata merupakan suatu bentuk penyebab “kemalasan” manusia? Atau yang lebih ekstrem, teknologi diartikan sebagai “pelemahan” terhadap segala lini kehidupan manusia, termasuk intelektualitas. Dalam artian, kemudahan teknologi, membuat manu

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal Ilustrasi. Sumber gambar:  https://web.facebook.com/observatorium.bosscha/posts/lembang-1-september-2016-pada-pukul-0801-wib-pagi-hari-tadi-observatorium-bossch/1079902765391761/?_rdc=1&_rdr by Warstek Media / 04 Agustus 2019 Ditulis Oleh Mohamad Fikri Aulya Nor Tim Peneliti Hilal dari Observatorium Bosscha membuat kekaguman berbagai pihak saat mempresentasikan hasil penelitiannya pada acara Sarasehan Pengamatan Hilal Rajab 1440 H dan Sosialisasi “Dark Sky Preservation” pada hari Kamis, 7 Maret 2019. Setelah melakukan penelitian pengamatan hilal dari tahun 2012, mereka akhirnya menorehkan catatan rekor hebat. Mereka berhasil menjadi orang kedua di dunia yang berhasil mengamati Bulan saat “berusia” nol jam atau tepat saat fase awal atau bulan baru. Mereka menangkap citra tersebut dari dua tempat, yakni Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil citra yang didapatka