Selama ini, kita mengenal gerakan DI/TII yang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai gerakan pemberontakan atau bughat yang mengancam kedaulatan Republik Indonesia (RI). Mereka melancarkan aksinya di berbagai tempat, seperti Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Namun, usaha pemerintah RI untuk memadamkan “pemberontakan” ini sering mengalami kebuntuan. Mengapa mereka begitu sulit dikalahkan dan justru mendapat simpati dari banyak masyarakat? Simak uraian singkat berikut.
Api telah tersulut dalam sekam, jauh sebelum perlawanan ini meletus. Sejak Indonesia merdeka, para pendiri bangsa dibayangi oleh masalah serius mengenai arah bangsa ini: apakah dituntun oleh nasionalisme-sekuler ataukah Islam?
Umat Islam menginginkan bangsa ini dikelola berlandaskan prinsip-prinsip Al Qur’an dan Sunnah. Hal ini setidaknya dilandasi oleh tiga alasan yang rasional: (1) watak Islam yang menyeluruh, (2) keunggulan ideologi Islam atas yang lainnya, dan (3) kenyataan bahwa mayoritas warga menganut Islam. Umat Is
lam sudah berjuang melalui berbagai cara secara konstitusional, seperti perumusan Piagam Jakarta, partisipasi di pemilihan umum 1955, dan perjuangan di parlemen dan Dewan Konstituante, meskipun semuanya berakhir pada kompromi.
Salah satu tokoh yang menarik garis tegas, tanpa kompromi, adalah SM Kartosuwiryo, pemimpin DI/TII. Tidak seperti M. Natsir, rekannya dulu di Mayumi, yang menyetujui masyarakat Islami dalam naungan Pancasila, ia menginginkan negara Islami yang ideal. Dia juga sangat anti terhadap komunisme sehingga hal tersebut juga mendasari perseteruannya kelak dengan Soekarno yang kekiri-kirian, bahkan mengusung konsep Nasakom.
Pada awalnya, ia menerima pendirian RI. Namun, sikap pemerintah terhadap aspek agama, sosial, ekonomi, politik, dan militer lama-kelamaan makin mengecewakan umat Islam. Selain penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi dasar negara, terdapat keputusan fatal yang menjadi puncak kekecewaannya. Hal tersebut adalah kegagalan dalam perundingan Renville yang salah satu konsekuensinya adalah lepasnya Jawa Barat sebagai wilayah RI.
Hal tersebut membuat TNI harus segera ditarik dari wilayah tersebut, sehingga rakyat Jawa Barat merasa ditinggalkan oleh republik. Selain itu, isu adanya rasionalisasi dalam tubuh TNI membuat banyak pencopotan pimpinan dan pelucutan pasukan perjuangan. Yang tersisa hanyalah gerilyawan dari Hizbullah dan Sabilillah di Jawa Barat, cabang militer Mayumi yang kelak menjadi TII, yang mendapat simpati masyarakat di sana.
Selain itu, ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, perjanjian Renville dianggap batal sehingga Divisi Siliwangi TNI melakukan long march ke arah Jawa Barat pada tanggal 19 Desember 1948. Awalnya, mereka disambut oleh TII dan diajak bergabung untuk menyerang negara boneka Belanda, Negara Pasundan. Namun, akhirnya mereka saling tidak setuju dan bermusuhan.
Ketika itu, kondisi RI sangat lemah, bahkan ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dan pimpinan negara, seperti Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap. RI dianggap bubar. RI dianggap menyerahkan kedaulatannya kepada negara baru yang disebut Republik Indonesia Serikat.
Ketika Moh. Hatta pergi ke Den Haag pada 6 Agustus 1949 untuk mengikuti Konferensi Meja Bundar, terjadi kekosongan kekuasaan sementara. Hal ini segera dimanfaatkan oleh Kartosuwiryo. Dengan Maklumat Pemerintah NII no.II/7, ia pun mendeklarasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Dengan demikian, terwujudlah cita-cita Kartosuwiryo berupa negara Islam yang kelak hanya berumur 13 tahun, tetapi geloranya tidak pernah redup hingga sekarang.
Sumber:
Al-Chaidar. 1999. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam? DI-TII Semasa Orde Baru Lama dan Orde Baru. Jakarta: Darul-Falah.
Komentar
Posting Komentar