Langsung ke konten utama

Anda Bosan? Coba Tafakur Langit dan Bumi di Tengah Pandemi Ini!

Anda Bosan? Coba Tafakur Langit dan Bumi di Tengah Pandemi Ini!

Ilustrasi
Sumber gambar: https://www.davidservant.com/wp-content/uploads/2018/08/thinking-about-forever.jpg

Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB

Apakah kalian merasa bosan di dalam rumah melulu? Sudah berapa hari kalian tidak keluar karena physical distancing ini? Walaupun sesekali keluar untuk bekerja atau belanja, saya yakin kalian semua merasakan hal yang sama: bosan!

Untuk melepas jenuh, kita biasanya menyibukkan diri dengan beberapa hiburan, seperti menonton televisi, bermain game, dan menjelajah media sosial. Bagi yang agak produktif, mungkin menonton video edukasi dan ceramah. Bagi yang sudah berkumpul dengan keluarganya masing-masing, sangat bagus sekali jika kita bercengkerama dengan keluarga. Sayangnya, saya belum sempat pulang kampung, jadi jika kalian lebih beruntung daripada saya, lakukanlah itu!

Terlepas dari kisah sedih saya yang mungkin tidak pulang kampung lebaran ini, saya ingin memberitahu cara mengusir kebosanan di tengah pandemi ini, plus dengan cara yang keren! Apa itu? Bertafakur terhadap langit dan bumi!

Saya yakin ini adalah cara yang keren! Bukan mentang-mentang saya mahasiswa astronomi. Saya punya beberapa alasan.

Pertama, jangankan orang-orang melakukannya, terpikir pun belum tentu! Sangat jarang orang mengusir bosan dengan merenung, apalagi merenenungi langit dan bumi! Paling-paling kalau tidak merenungi kekasih yang tak kunjung datang, ya hutang! Benar, bukan?

Kedua, bagi seorang muslim, bertafakur terhadap langit dan bumi merupakan amalan bersyukur bagi kita yang dianugerahi akal! Sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 190.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan Siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190).

Tapi daripada bengong tidak jelas, bukankah sebaiknya kita melakukan hal yang lebih bernilai ibadah, seperti mendengar ceramah? Baik-baik, mendengar ceramah itu menuntut ilmu dan menuntut ilmu itu termasuk ibadah. Tapi, pernah dengar hadits, “Berfikir sesaat/satu jam lebih utama dari pada beribadah sunnah 60 tahun lamanya”? Jangan kira tafakur itu hanya bengong, ya! Pahalanya banyak lagi! Ini menjadi alasan ketiga.

Memang, sih jika memakai standar yang ada di dalam Al Qur’an, yakni ayat selanjutnya,

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa Neraka,” (QS. Ali Imran: 191)

maka kalian yang rebahan sambil memuji Tuhan atas ciptaan-Nya dan amenatap langit-langit kamar pun, sudah termasuk kriteria Ulil Albab (orang yang berakal). Kriteria minimal, tapi!

Dibanding hanya menatap langit-langit kamar yang membosankan, bagaimana kalau kita langsung saja menatap langit sungguhan? Kuy! 

Coba pukul setengah enam sore, kalian pergi ke halaman belakang atau tempat terbuka lainnya di rumah. Setelah itu carilah tempat nyaman, boleh juga rebahan, dan tolehkan kepala kalian ke arah timur. Sekarang, sapukan pandangan langit yang biru itu dari arah timur, ke atas, lalu ke barat. Perhatikan baik-baik apa yang kalian lihat!

Langit itu menjadi merah, bukan? Kira-kira, kenapa langit berwarna merah? Apakah karena matahari? Kalau karena matahari, lalu kenapa langit waktu siang warnanya biru? Hayo, karena apa?

Jawabannya adalah karena hamburan Rayleigh! Kalian tahu, kan mejikuhibiniu? Cahaya matahari itu terdiri dari banyak warna, dari merah sampai ungu (atau lebih tepatnya “biru”). Nah, saat sore kan lapisan udara yang dilewati cahaya matahari lebih tebal. Lapisan udara yang tebal membuat cahaya biru banyak dihamburkan, seperti uang kalian di awal bulan! Akibatnya, uang kalian habis dan tinggal recehan, kan? Nah, “recehan” dari cahaya matahari itu adalah cahaya merah, sehingga di arah barat, langit sore berwarna merah. Kurang lebih, begitu.

Jika kalian masih merasa jenuh, coba setelah isya’ kalian keluar lagi. Sekarang kalian bebas menoleh ke mana saja. Lihatlah bintang-bintang yang jumlahnya sangat banyak itu. Apalagi saat langit cerah gara-gara polusi berkurang karena Corona!

Coba hitung sendiri jumlahnya ada berapa. Jutaan? Miliaran? Sebentar. Kalau saya boleh menulis seribu juta adalah miliar dan sejuta juta adalah triliun, maka banyak bintang di alam semesta ada sampai setriliun triliun (1022-1024) bintang. Kira-kira kalian sanggup tidak menghitung satu-satu?

Di setiap bintang itu, mungkin mengandung planet-planet seperti di tata surya kita sekarang. Bahkan planet seperti Bumi. Apakah ada makhluk yang menghuni planet-planet itu juga? Sayangnya hingga sekarang keberadaan “tetangga” jauh itu belum ditemukan, bahkan di dekat rumah kita sendiri, Planet Mars. Tampaknya hanya di Bumi saja, satu di antara bertriliun triliun planet di alam semesta ini yang ada ribut-ribut Korona, korupsi, dan radikalisme!

Semuanya berputar di dalam orbitnya masing-masing. Asal kalian tahu, walaupun kalian pernah mendengar ini di dalam surat Yasin, tapi ini fakta ilmiah! Memang ada benda langit yang memotong lintasan orbit benda langit lain. Contoh terbesar adalah mantan planet, Pluto, dan planet gas raksasa, Neptunus. Tapi, apa kalian tahu? Walaupun memotong orbit, mereka tidak pernah bertabrakan!

Kalaupun ada yang menabrak pun, seperti meteor dan komet, mereka mengikuti lintasan orbit yang chaotic. Bukan berarti chaotic itu kacau, lalu random seperti kalian saat gabut. Lintasan asteroid, misalnya, memang bisa berubah-ubah karena berpapasan dengan planet besar, tetapi itu pun bisa dihitung dan diperkirakan.

Ingin lebih terkesima? Coba ukur, kalau perlu pakai penggaris, berapa ukuran bintang-bintang itu? Apa? Kurang kecil penggarisnya? Pantas saja.

Bintang-bintang ukurannya sangat kecil, dan bahkan dianggap titik di dalam astronomi. Titik itu, ya tidak mempunyai ukuran. Bintang dengan ukuran tampak terbesar setelah matahari besar ukurannya adalah tiga per seratus ribu diameter matahari. Agar lebih terbayang, diameter matahari di langit kira-kira sama dengan setengah lebar jari telunjuk tangan kalian.

Dari semua fakta yang mengagumkan itu, bagaimana cara bertafakur? Semuanya keren, ajaib, luar biasa. Namun, menurut standar dunia modern, hal-hal seperti itu dianggap fenomena alam biasa karena bisa dijelaskan secara ilmiah. Tapi, justru itulah yang membuat kita mengagumi kebesaran Tuhan. Dan inilah yang menurut saya alasan bertafakur pada langit dan bumi adalah cara paling keren untuk mengusir rasa bosan di tengah pandemi ini.

Bagaimana otak manusia yang sekecil itu, tinggal di planet yang kecil, di dalam salah satu triliun triliunan bintang yang kamu lihat di langit, bisa mengungkap ini semua? Sungguh luar biasa hebat Tuhan yang menciptakan manusia yang didaulat sebagai makhluk sempurna ini!

Sekarang, bagaimana? Keren, bukan? Saya jamin kalian pasti tidak bosan lagi (harapannya).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB Tahukah kalian apa itu Big Bang ? Big Bang adalah teori awal alam semesta yang menyatakan bahwa alam semesta ini bermula dari suatu titik yang tak hingga kecilnya, kemudian mengembang menjadi sebesar ini. Sejarah munculnya teori ini mengandung kisah dramatis tentang pencarian jawaban atas pertanyaan filosofis mengenai alam semesta, konflik laten bagi kaum agamawan, yang diakhiri dengan kemenangan Tuhan. Kita awali kisah ini dengan sebuah kesalahan persepsi yang populer. Banyak orang menyebut Big Bang sebagai “ledakan besar” dalam arti yang sebenarnya. Padahal nama “Big Bang” hanyalah ledekan dari Fred Hoyle, ilmuwan yang mendukung teori pesaing Big Bang, yakni teori Steady State  atau Keadaan Tunak. Dahulu para ahli kosmologi berdebat panjang mengenai alam semesta. Salah satunya, apakah alam semesta ini mempunyai awal atau sejak dulu memang seperti ini alias abadi? Hal ini memicu lahi

Smart Tech, Dumb People

Smart Tech, Dumb People Ilustrasi Singularitas Teknologi. Sumber gambar: https://s27389.pcdn.co/wp-content/uploads/singularity-1000x440.jpg Oleh: Fikri Aulyanor 15 Januari 2019 Sebenarnya, alasan manusia menciptakan teknologi adalah untuk membuat segala pekerjaannya menjadi cepat, efektif, dan efisien. Setelah muncul otomasi dan Internet, dan sekarang ditambah AI (Artificial Intelligence), produktivitas manusia sangat meningkat pesat dengan effort yang sangat minimal. Jelas, kehidupan manusia sangat jauh lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Maka dari itu, jika kita mendengar kata “teknologi”, otak kita selalu menganggapnya “baik“. Bagaimana tidak, siapa yang tidak ingin hidup mudah tanpa bersusah payah? Namun, bagaimana jika teknologi ternyata merupakan suatu bentuk penyebab “kemalasan” manusia? Atau yang lebih ekstrem, teknologi diartikan sebagai “pelemahan” terhadap segala lini kehidupan manusia, termasuk intelektualitas. Dalam artian, kemudahan teknologi, membuat manu

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal Ilustrasi. Sumber gambar:  https://web.facebook.com/observatorium.bosscha/posts/lembang-1-september-2016-pada-pukul-0801-wib-pagi-hari-tadi-observatorium-bossch/1079902765391761/?_rdc=1&_rdr by Warstek Media / 04 Agustus 2019 Ditulis Oleh Mohamad Fikri Aulya Nor Tim Peneliti Hilal dari Observatorium Bosscha membuat kekaguman berbagai pihak saat mempresentasikan hasil penelitiannya pada acara Sarasehan Pengamatan Hilal Rajab 1440 H dan Sosialisasi “Dark Sky Preservation” pada hari Kamis, 7 Maret 2019. Setelah melakukan penelitian pengamatan hilal dari tahun 2012, mereka akhirnya menorehkan catatan rekor hebat. Mereka berhasil menjadi orang kedua di dunia yang berhasil mengamati Bulan saat “berusia” nol jam atau tepat saat fase awal atau bulan baru. Mereka menangkap citra tersebut dari dua tempat, yakni Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil citra yang didapatka