Bosan? Coba Tafakur Langit dan Bumi di Tengah Pandemi Ini!
Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB
Kebanyakan dari kita merasa bosan karena physical distancing ini. Benar, bukan? Untuk mengusirnya, kita biasanya menyibukkan diri dengan beberapa hiburan, seperti menonton televisi, bermain game, dan menjelajah media sosial. Bagi yang agak produktif, mungkin menonton video edukasi dan ceramah. Bagi yang sudah berkumpul dengan keluarganya masing-masing, sangat bagus sekali jika kita bercengkerama dengan keluarga. Tapi, ada cara lain yang keren untuk mengusir kebosanan di tengah pandemi ini! Apa itu? Bertafakur terhadap langit dan Bumi!
Bertafakur berasal dari kata tafakkara dalam bahasa Arab yang artinya adalah memikirkan atau mempertimbangkan perkara. Dalam KBBI, tafakur berarti renungan, perenungan, merenung, menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh, atau berarti pula mengheningkan cipta. Secara terminologis, tafakur adalah nama untuk proses kegiatan kemampuan akal pikiran dalam diri manusia, baik berupa kegiatan hati, jiwa, atau akal melalui nalar dan renungan. Ujung dari orang yang senantiasa bertafakur adalah ia akan tercengan dan terkagum-kagum akan kekuasaan Allah SWT yang tidak terhingga.
Syeikh Muhammad Nawawi Banten memberikan penjelasan bahwa menurut para ulama, tafakur terdiri dari lima jenis, yakni dalam rangka merenungi ayat-ayat, nikmat-nikmat, janji-janji, dan peringatan Allah SWT, serta kelalaian diri dalam menjalankan perintah-Nya. Bagi seorang muslim, bertafakur merupakan amalan bersyukur bagi kita yang dianugerahi akal, sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Ali Imran ayat 190-191.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan Bumi, dan silih bergantinya malam dan Siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan Bumi (seraya berkata): “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa Neraka,” (QS. Ali Imran: 190-191).
Bumi yang selama hidup ini kita tempati serta langit yang senantiasa menaunginya merupakan salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Bahkan secara gamblang mereka disebut secara bersamaan dengan ayat Al Quran tentang bertafakur. Oleh karena itu, mari kita coba mentafakurinya.
Bagaimana Bumi dan langit tercipta? Menurut sains modern, Bumi dan langit atau bisa kita sebut sebagai jagad raya fisik bermula dari sebuah titik singularitas yang kemudian mengembang dipercepat menjadi sebesar ini. Singularitas adalah sebuah titik tanpa dimensi, di mana semua materi, energi, bahkan ruang dan waktu terkandung. Dalam surat al-Anbiya ayat 30, terdapat petunjuk mengenai awal mula jagad raya yang sesuai dengan deskripsi singularitas, yakni
“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan Bumi keduanya dahulu menyatu kemudian Kami pisahkan antara keduanya…” (QS Al Anbiya : 30)
Model alam semesta yang mengembang ini kemudian disebut para ilmuwan sebagai model big bang. Sebenarnya bukan benar-benar “ledakan besar” karena ini hanyalah ledekan dari pencetus model saingannya, yakni steady state. Perbedaan di antara keduanya yang mencolok adalah mengenai waktu: model big bang menyatakan bahwa alam semesta mempunyai awal (huduts), sedangkan model steady state menyatakan bahwa alam semesta sudah ada sejak dahulu (qadim). Sungguh menarik bahwa ternyata model yang paling mendekati kebenaran ilmiah justru model big bang dengan berbagai bukti telak, salah satu yang fenomenal adalah CMB (Cosmic Microwave Background).
Model big bang sebenarnya tidak mensyaratkan bahwa alam semesta mengembang dipercepat. Secara teori, alam semesta boleh saja mengembang konstan atau diperlambat. Bahkan, Einstein awalnya memprediksi bahwa alam semesta ini statis atau tidak mengembang sama sekali. Tetapi fakta Edwin Hubble pada tahun 1928 mengamati pergeseran merah galaksi-galaksi yang jauh mengikuti tren yang konsisten. Hal ini mengungkap bahwa semakin jauh galaksi itu, semakin cepat galaksi itu menjauh. Menariknya, fakta ini sesuai dengan petunjuk Allah dalam surat Al Ghasyiyah ayat 18,
“Dan langit, bagaimana ditinggikan?” (QS Al Ghasyiyah: 30)
Pertanyaan kosmis bangsa Mesir kuno, yakni “seberapa tinggi kubah langit?” memang sudah tidak relevan. Kita sekarang tahu bahwa “kubah langit” bukanlah “atap rumah” yang menggantung di ketinggian tertentu, melainkan lapisan-lapisan udara yang merupakan bagian dari Bumi, yakni atmosfer, dan bagian dari jagad raya yang lebih besar. Jagad raya tersebut bukan hanya jauh lebih besar, melainkan juga selalu mengembang dengan kecepatan yang bisa melampaui kecepatan cahaya. Dengan kata lain, langit memang selalu lebih tinggi dari sebelumnya.
Menurut bukti kosmologis tekini, benchmark model, alam semesta fisik berusia setidaknya 13,7 miliar tahun melalui beberapa tahap atau era. Era tersebut ditandai dengan komponen yang mendominasi. Layaknya manusia yang mengalami tahap bayi, kecil, remaja, dewasa, dan tua, alam semesta pun begitu. Alam semesta mengalami era dominasi cahaya, materi, dan energi gelap. Era cahaya berlangsung selama kurang lebih 50 ribu tahun, era materi selama kurang lebih 10 miliar tahun, dan sisanya sampai sekarang adalah era energi gelap. Oleh karena itu, sebenarnya tidak sulit untuk mengimani bahwa nur Muhammad atau malaikat-malaikat diciptakan terlebih dahulu daripada Bumi dan seisinya.
Bahkan jika disebutkan bahwa alam semesta awalnya diciptakan dari air, seperti yang disebutkan Allah SWT, dalam lanjutan ayat 30 surat al-Anbiya,
“... dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air…” (QS al-Anbiya: 30)
Hal ini karena hingga usia 370 ribu tahun, radiasi dan materi masih bergabung (terkopel) membentuk sesuatu yang disebut ilmuwan sebagai fluida foton-baryon. Foton adalah istilah untuk cahaya, sedangkan baryon adalah istilah untuk materi yang kita kenal, seperti atom, proton, elektron, dan sebagainya. Fluida adalah istilah untuk menyebut sesuatu yang bersifat seperti cairan atau gas. Fluida ini mengembang-mengempis dalam potensial gravitasi, membentuk osilasi akustik baryon-foton.
Hingga usia 50-180 juta tahun, belum ada materi yang berwujud struktur. Pada saat itu pula, bintang pertama diyakini mulai tercipta. Semenjak itu, galaksi, bintang, dan planet mulai terbentuk.
Meloncat jauh hingga 5 miliar tahun lalu, ketika Matahari mulai bercahaya untuk pertama kalinya. Pada waktu itu juga, Bumi mulai terbentuk melalui proses yang sangat keras. Debu dan gas menggumpal membentuk asteroid kecil, kemudian saling bertumbukan dan bersatu, membuat ukurannya bertambah besar. Karena tumbukan dengan kecepatan yang sangat tinggi, panas yang dihasilkan juga tinggi sehingga bisa melelehkan batu dan logam, seperti inti Bumi sekarang.
Terdapat beragam hipotesis mengenai pembentukan Bulan, tetapi yang terkuat adalah hipotesis giant impact. Bulan sebenarnya merupakan sisa tumbukan Bumi purba dengan sebuah benda seukuran 2,5 hingga 3 kali Planet Mars yang disebut Theia pada 4,6 miliar tahun lalu.
Seiring waktu, mayoritas benda-benda kecil sudah bergabung menjadi benda besar, yakni planet dan Bulan. Tumbukan-tumbukan semakin jarang dan Bumi mendingin. Akhirnya Bumi menjadi tempat yang bisa dihuni oleh para makhluk, mulai dari kehidupan seluler, kehidupan laut, dan kehidupan darat. Kehidupan darat pun bertahap, mulai amfibi, reptil, hingga mamalia.
Disebutkan dalam surat al A’raf ayat 54 bahwa langit dan Bumi diciptakan dalam enam masa.
“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan Bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy.” (QS al-A’raf: 54)
Banyak ulama zaman dahulu maupun zaman sekarang yang telah menafsirkan hal tersebut. Dengan tidak menghurangi kehormatan para ulama, menurut penulis, belum ada tafsir berdasarkan sains modern yang penjelasannya memuaskan. Sehingga sebaiknya maknanya dikembalikan ke tafsir ulama zaman dahulu, bahkan jika itu tanpa interpretasi fisis apapun. Hal ini seperti kita menyikapi adanya tujuh lapis langit dengan atmosfer Bumi yang tidak sepadan. Tetapi apapun itu, hal tersebut sama sekali tidak mengurangi kebenaran al-Qur’an dan keagungan Tuhan sedikit pun.
Terakhir, penulis menyampaikan bahwa sebenarnya masih banyak tanda-tanda kebesaran Allah SWT mengenai langit dan Bumi yang bisa kita tafakuri. Apalagi, selain kedua itu. Semoga hal ini membuat bosan kita terusir oleh rasa takjub pada Sang Khaliq dan kita bisa lebih banyak bertafakur di tengah pandemi ini.
Referensi:
Lang, Kenneth R. 2011. The Cambridge Guide to the Solar System (Second Edition). UK: Cambridge University Press.
Ryden, Barbara. 2017. Introduction to Cosmology (Second Edition). UK: Cambridge University Press.
Komentar
Posting Komentar