Langsung ke konten utama

Memahami Bahaya Eksponensial Sebuah Wabah

Memahami Bahaya Eksponensial Sebuah Wabah

Ilustrasi. Sumber: https://media.wired.com/photos/5e7422f18dd572000828b6cd/16:9/w_2287,h_1286,c_limit/Science_exponentialgrowth_852299026.jpg

Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB

Menghadapi wabah virus Corona atau Covid-19 yang menjadi pandemi dunia, pemerintah Indonesia memberlakukan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kebijakan yang populer dengan nama social distancing itu dipercaya dapat menghambat persebaran wabah akibat kontak fisik secara signifikan. Pusat-pusat kerumunan, seperti kantor, sekolah, kampus, bahkan masjid dibatasi atau ditutup. Bahkan beberapa pemerintah daerah menerapkan lockdown atau karantina lokal di mana warganya diminta untuk tetap berada di rumah dan orang tidak bisa keluar-masuk daerah tersebut. Hal ini dilakukan agar dapat meminimalisasi kontak fisik yang berpotensi penularan.

World Health Organization (WHO) ‘Badan Kesehatan Dunia’ dan para ahli epidemi juga menyarankan kita untuk melakukan physical distancing. Hal ini karena wabah dapat menyebar dengan sangat cepat dalam waktu yang singkat. Di awal-awal masa penyebaran, jumlah penderita yang positif akan meningkat secara eksponensial. Peningkatan jumlah ini seringkali tidak kita sadari. Jika kita mengetahui bahaya eksponensial ini, seharusnya kita bisa menerapkan social distancing lebih serius.

Sebenarnya, apa maksud bahaya eksponensial ini? Apakah memang semengerikan itu sampai-sampai harus menutup banyak fasilitas umum?

Mengingat wabah Corona yang sangat mudah menular, dengan sangat berat hati saya mengatakan keputusan tersebut lebih bijak. Apalagi diketahui bahwa kita bisa terkena virus ini tanpa menunjukkan gejala sampai 2-14 hari atau bahkan tidak sama sekali. Artinya, kita bahkan tidak tahu apakah kita membawa virus ini dan menyebarkannya ke orang lain atau tidak, sebelum kita melakukan tes. Selain itu, ditemukan pula bahwa virus ini dapat bertahan sementara waktu di tempat-tempat tertentu. Kita pun bisa tertular secara tidak langsung.

Untuk mempermudah pemahaman, kita mulai dari yang sederhana. Misalkan satu orang hanya berinteraksi tepat dengan dua orang yang berbeda dalam sehari. Jika satu orang terkena Corona, maka di hari pertama sudah ada tiga orang yang menderita. Di hari kedua, ada 3 + 3 × 2 = 9 penderita. Di hari ketiga, ada 9 + 9 × 2 = 27 penderita. Di hari keempat, ada 27 + 27 × 2 = 81 penderita. Di hari ke-n, maka ada 3n penderita. Jika ini terus berlanjut, maka hanya dalam 6 hari, kira-kira sudah ada 1000 orang yang sakit. Dalam setengah bulan, hampir sepuluh juta orang berisiko menderita karena Corona.

Gambar 1. Ilustrasi Pertumbuhan Eksponensial.
Sumber gambar: https://fastly.kastatic.org/ka-perseus-images/7edbd1ab380efb207cf72aa25850838ef6c05824.png

Padahal, berapa kali kita berinteraksi dengan orang yang berbeda dalam sehari? Mungkin lebih dari dua orang. Jika ini dihitung, maka waktu yang dibutuhkan virus ini menyebar sangat jauh lebih singkat. Misal kita rata-rata bertemu dengan lima orang yang berbeda dalam sehari, dunia akan ditelan pandemi ini dalam waktu 10 hari.

Namun tentu saja ini hanyalah model. Kenyataannya per 31 Maret 2020, kasus positif Corona di dunia masih di bawah angka satu juta. Model yang lebih akurat memperhitungkan probabilitas kita terkena penyakit dalam sekali kontak atau laju transmisinya, laju penyembuhan, dan lain sebagainya. Tapi kira-kira begitulah yang disebut sebagai bahaya eksponensial.

Jika kita gambarkan dalam grafik, bentuk kurva pertumbuhan jumlah penderita wabah ini adalah bagaikan roller coster yang menanjak curam dan semakin curam. Kecepatannya pun meningkat dan semakin meningkat. Misalnya dalam sekitar dua puluh hari sejak penderita positif Corona pertama di Indonesia diumumkan, sudah ada 1500-an orang dinyatakan positif. Hal ini berlaku saat awal-awal penyebaran wabah hingga akhirnya pada titik tertentu sudah sedikit sekali orang yang sehat, sehingga kecepatan penyebaran wabah melambat.

Kurva yang menanjak tajam kemudian melandai dan mencapai puncak, hingga akhirnya kembali turun seiring orang menjadi sembuh ataupun meninggal. Bentuknya sepeti gunung. Semakin tinggi “gunung”-nya, semakin cepat persebaran suatu wabah. Sebaliknya, semakin rendah “gunung”-nya, semakin lambat persebarannya. Maka dari itulah muncul istilah “flatten the curve” sebagai kampanye untuk menghambat persebaran virus Corona.

Jika persebaran virus terhambat, maka kapasitas rumah sakit yang terbatas pun masih memadai. Tenaga medis yang jumlahnya terbatas juga tidak harus bekerja terlalu keras merawat pasien. Selain itu, karena obat dari penyakit itu sendiri belum ditemukan, akan semakin banyak orang yang bisa tertolong.

Lalu, bagaimana cara merendahkan “gunung”-nya?

Seperti dalam interaksi di atas, cara paling efektif adalah meminimalisasi interaksi kita, yakni melalui social distancing. Jika kita tidak mempunyai keperluan penting dan/atau mendesak, kita disarankan untuk tidak pergi keluar rumah. Kemudian, ketika kita harus berinteraksi dengan orang lain, hindari kontak fisik, seperti bersalaman. Bukannya melarang untuk melarang mempererat tali silaturahim, tetapi di kondisi seperti ini, salaman tidaklah dianjurkan.

Kita juga disarankan untuk menghindari kerumunan dan tempat umum. Selain karena risiko kontak langsung dengan banyak orang, terdapat pula risiko penularan secara tidak langsung. Contohnya adalah penularan melalui gagang pintu, pegangan tangga, dan sebagainya.

Prinsip dasarnya adalah berusaha untuk tidak tertular dan tidak menulari.

Hal ini selaras dengan hadits Rasulullah SAW.
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا
Artinya: “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata: “Jika kalian mendengar adanya tha’un di suatu daerah, maka jangan memasuki daerah tersebut; dan ketika kalian berada di dalamnya (daerah yang terkena tha’un), maka jangan keluar dari daerah tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka dari itulah, kita juga dianjurkan untuk menunda bepergian terlebih dahulu. Baik itu untuk liburan, mudik, atau sekadar mengungsi ke daerah lain.

Dengan begitu, kita bisa merendahkan “gunung” kurva eksponensial pertumbuhan penderita wabah dan memperlambat persebarannya. Kita memang tidak bisa mendahului takdir dan mengelak dari ketentuan Allah, tetapi kita diberikan kemampuan untuk berusaha sehingga dengan berusaha itulah kita bersyukur kepada-Nya dan menerima ketentuan Allah dengan keadaan terbaik.

Sumber:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan

Big Bang, Penciptaan, dan Kemenangan Tuhan Mohamad Fikri Aulya Nor, Astronomi ITB Tahukah kalian apa itu Big Bang ? Big Bang adalah teori awal alam semesta yang menyatakan bahwa alam semesta ini bermula dari suatu titik yang tak hingga kecilnya, kemudian mengembang menjadi sebesar ini. Sejarah munculnya teori ini mengandung kisah dramatis tentang pencarian jawaban atas pertanyaan filosofis mengenai alam semesta, konflik laten bagi kaum agamawan, yang diakhiri dengan kemenangan Tuhan. Kita awali kisah ini dengan sebuah kesalahan persepsi yang populer. Banyak orang menyebut Big Bang sebagai “ledakan besar” dalam arti yang sebenarnya. Padahal nama “Big Bang” hanyalah ledekan dari Fred Hoyle, ilmuwan yang mendukung teori pesaing Big Bang, yakni teori Steady State  atau Keadaan Tunak. Dahulu para ahli kosmologi berdebat panjang mengenai alam semesta. Salah satunya, apakah alam semesta ini mempunyai awal atau sejak dulu memang seperti ini alias abadi? Hal ini memicu lahi

Smart Tech, Dumb People

Smart Tech, Dumb People Ilustrasi Singularitas Teknologi. Sumber gambar: https://s27389.pcdn.co/wp-content/uploads/singularity-1000x440.jpg Oleh: Fikri Aulyanor 15 Januari 2019 Sebenarnya, alasan manusia menciptakan teknologi adalah untuk membuat segala pekerjaannya menjadi cepat, efektif, dan efisien. Setelah muncul otomasi dan Internet, dan sekarang ditambah AI (Artificial Intelligence), produktivitas manusia sangat meningkat pesat dengan effort yang sangat minimal. Jelas, kehidupan manusia sangat jauh lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Maka dari itu, jika kita mendengar kata “teknologi”, otak kita selalu menganggapnya “baik“. Bagaimana tidak, siapa yang tidak ingin hidup mudah tanpa bersusah payah? Namun, bagaimana jika teknologi ternyata merupakan suatu bentuk penyebab “kemalasan” manusia? Atau yang lebih ekstrem, teknologi diartikan sebagai “pelemahan” terhadap segala lini kehidupan manusia, termasuk intelektualitas. Dalam artian, kemudahan teknologi, membuat manu

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal

Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal Ilustrasi. Sumber gambar:  https://web.facebook.com/observatorium.bosscha/posts/lembang-1-september-2016-pada-pukul-0801-wib-pagi-hari-tadi-observatorium-bossch/1079902765391761/?_rdc=1&_rdr by Warstek Media / 04 Agustus 2019 Ditulis Oleh Mohamad Fikri Aulya Nor Tim Peneliti Hilal dari Observatorium Bosscha membuat kekaguman berbagai pihak saat mempresentasikan hasil penelitiannya pada acara Sarasehan Pengamatan Hilal Rajab 1440 H dan Sosialisasi “Dark Sky Preservation” pada hari Kamis, 7 Maret 2019. Setelah melakukan penelitian pengamatan hilal dari tahun 2012, mereka akhirnya menorehkan catatan rekor hebat. Mereka berhasil menjadi orang kedua di dunia yang berhasil mengamati Bulan saat “berusia” nol jam atau tepat saat fase awal atau bulan baru. Mereka menangkap citra tersebut dari dua tempat, yakni Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil citra yang didapatka