Rekor Pengamatan Hilal Terbaik untuk Revolusi Rukyatul Hilal
Ilustrasi. Sumber gambar: https://web.facebook.com/observatorium.bosscha/posts/lembang-1-september-2016-pada-pukul-0801-wib-pagi-hari-tadi-observatorium-bossch/1079902765391761/?_rdc=1&_rdr |
by Warstek Media / 04 Agustus 2019
Ditulis Oleh Mohamad Fikri Aulya Nor
Tim Peneliti Hilal dari Observatorium Bosscha membuat kekaguman berbagai pihak saat mempresentasikan hasil penelitiannya pada acara Sarasehan Pengamatan Hilal Rajab 1440 H dan Sosialisasi “Dark Sky Preservation” pada hari Kamis, 7 Maret 2019. Setelah melakukan penelitian pengamatan hilal dari tahun 2012, mereka akhirnya menorehkan catatan rekor hebat. Mereka berhasil menjadi orang kedua di dunia yang berhasil mengamati Bulan saat “berusia” nol jam atau tepat saat fase awal atau bulan baru. Mereka menangkap citra tersebut dari dua tempat, yakni Observatorium Bosscha, Lembang, Jawa Barat dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari hasil citra yang didapatkan, mereka mendapatkan citra Bulan tertipis. Kita baru tahu bahwa saat fase bulan baru, Bulan tidak pernah benar-benar gelap!
Selain itu, mereka juga berhasil memotret hilal dengan elongasi di bawah 6 derajat (3,29 derajat) dan memotret hilal dengan ketinggian hampir nol derajat. Bandingkan dengan kriteria dari beberapa ormas, seperti MABIMS dengan elongasi 6,4 derajat dan ketinggian 3 derajat atau Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dengan ketinggian 2 derajat! Mereka berhasil melakukannya dengan teknik pengamatan astronomis yang ampuh dengan persiapan dan instrumen yang “ekstrem”. Menurut Muhammad Yusuf, S.Si., seorang peneliti hilal dari Observatorium Bosscha ITB, jika di masa depan data seperti ini banyak diperoleh, bisa jadi kriteria yang digunakan oleh ormas-ormas tersebut menjadi tidak relevan dan dapat berubah.
Sebenarnya tidak ada teknik khusus yang digunakan oleh timnya. Artinya, ia mengamati bulan dari terbit hingga terbenam menggunakan teleskop dan pengolah citra digital. Yang membuat sulit adalah kondisi atmosfer dan bulan itu sendiri ketika memasuki fase awal. Bulan purnama mempunyai tingkat iluminasi 400 kali lebih lemah daripada Matahari. Padahal, iluminasi bulan saat hilal adalah kurang dari 1% dibanding saat bulan purnama. Redupnya cahaya bulan diperparah oleh efek kontras yang sangat rendah akibat cahaya Matahari yang begitu dekat dengannya.
Atmosfer Bumi juga turut memperburuk keadaan ketika kita mengamat bulan di ufuk Barat. Kita harus menghadapi langit sore yang beratmosfer tebal. Lapisan-lapisan udara itu mengurangi intensitas cahaya hilal yang sudah sangat redup. Selain itu, hamburan cahaya yang menembusnya mengandung banyak cahaya merah yang tidak diperlukan. Ketika cuaca tidak mendukung dan awan menghalangi, tidak ada lagi cara untuk mengamati hilal, kecuali mengamatinya dengan panjang gelombang lain, seperti radio.
Ketinggian yang rendah juga menyebabkan deformasi bentuk citra Bulan. Bulan sabit yang berada di sekitar zenit bisa melengkung sempurna bisa berubah menjadi garis lurus yang tidak mudah dikenali jika berada di ufuk. Kita bisa tertipu dengan garis-garis awan atau efek-efek interferensi dari pengolah citra.
Gambar 3. Deformasi bentuk matahari yang semakin memipih jika semakin dekat dengan horizon. Hal yang sama dialami dalam pengamatan hilal. |
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, mereka pun mempersiapkan berbagai hal. Pertama, mereka mengamati hilal dari lokasi yang kering dan cuacanya mendukung, serta terlindungi dari gangguan alam, seperti angin dan hewan buas. Selanjutnya, untuk mengurangi hamburan cahaya yang tidak diperlukan, mereka menggunakan baffle, sebuah alat berbentuk selongsong tabung panjang yang berisi kisi-kisi untuk mencegah cahaya yang mengganggu masuk dan memantul-mantul “liar” di dalam teleskop.
Kemudian, dari sisi teleskop, jelas dibutuhkan teleskop dengan kualitas yang tinggi, namun sesuai kebutuhan. Misalnya, diameternya tidak boleh terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Jika diameter teleskop terlalu besar, maka semakin banyak cahaya yang dikumpulkan oleh teleskop, termasuk cahaya-cahaya yang mengganggu. Tetapi, jika diameter terlalu kecil, maka cahaya hilal yang sangat redup tidak mungkin dapat terlihat. Untuk memperoleh citra sekaligus data, maka dibutuhkan perangkat dan software yang prima. Sensor harus sangat sensitif terhadap kontras yang rendah dan software pengolah citra yang digunakan juga bagus, namun tetap ringan agar hasilnya dapat diolah secepat mungkin/se-real time mungkin.
Peran Ulama dan Santri
Hilal merupakan pertanda awal sebuah bulan dalam kalender hijriah. Selama ini terdapat dua cabang besar metode penentuannya, yakni rukyat dan hisab. Secara umum, rukyat berarti melihat hilal dengan pengamatan secara langsung, sedangkan hisab berarti menggunakan perhitungan berdasarkan pola-pola gerak benda langit. Keduanya sama-sama mempunyai dalil yang kuat, tetapi hasil akhir kedua metode tersebut kerap berbeda. Misalnya dalam penentuan tanggal satu Ramadhan dan satu Syawal. Sungguh ironis bahwa dalam memandang fenomena alam yang sama bisa terjadi perbedaan kesimpulan hanya karena perbedaan pendekatan.
Sebenarnya sudah banyak sekali upaya intelektual Muslim yang menggunakan sains dan teknologi untuk menentukan awal kalender hijriah secara lebih akurat dan obyektif. Dalam rukyat misalnya, ada upaya untuk menangkap citra hilal dengan teleskop, merekamnya secara live streaming, menggunakan panjang gelombang radio untuk menembus atmosfer, atau menembakkan laser ke Bulan. Salah satunya, tentu teknik pengamatan astronomis seperti yang dijalankan oleh tim peneliti Observatorium Bosscha ITB.
Sayangnya, pengamatan hilal adalah bidang yang kurang diminati banyak orang sehingga data yang diperoleh masih sedikit. “Biasanya yang tertarik dengan bulan sabit adalah pengamat hilal dan jumlah pengamat hilal itu sedikit sekali. Orang selain saya (orang pertama yang berhasil mengamati bulan ketika ‘berusia’ nol jam), (itu) astronom amatir, kebetulan suka ngamat di siang hari. Praktisinya sedikit (dan) secara teknis itu sulit sekali. Harus (membutuhkan) persiapan ekstrem, instrumen ekstrem,” ungkap beliau. Di masa depan, diharapkan semakin banyak orang yang menjadi praktisi sehingga data yang diperoleh semakin banyak dan teknik pengamatan hilal dapat terus diperbaiki dan dikembangkan.
Salah satu harapan dari Mas Ucup, sapaan akrab peneliti tersebut, adalah muncul praktisi yang menguasai teknik pengamatan ini dari kalangan ulama. Pasalnya, menurut beliau, selama ini masih banyak pengamat hilal yang kurang terampil dalam menggunakan teleskop dan persiapannya masih kurang. Contohnya, ketika mengamati hilal saat menjelang maghrib, mereka baru persiapan pukul 4, padahal setidaknya harus dilakukan polar allignment minimal semalam sebelumnya.
Penguasaan konsep astronomi dan teknik pengamatan sangatlah penting. Dengan menguasai konsep astronomi, kita akan paham dengan apa yang akan kita lakukan dalam teknik pengamatan. Dengan menguasai teknik pengamatan, kita dapat mengarahkan instrumen kita dengan akurat di langit dan mendapat citra yang bagus. Dengan demikian, antara fatwa dan fenomena fisis dapat lebih sinkron dan lebih ilmiah, salah satunya dalam revolusi rukyat di masa depan.
Narasumber:
Muhammad Yusuf, S.Si. (Staff Peneliti Obs. Bosscha)
Referensi:
https://sains.kompas.com/read/2019/05/02/224323523/bisa-dihitung-secara-astronomis-kapan-awal-ramadhan-2019?page=all
https://tdjamaluddin.wordpress.com/2016/10/05/menuju-kriteria-baru-mabims-berbasis-astronomi/
Dipublikasikan 04 Agustus 2019:
https://warstek.com/2019/08/04/rukyatulhilal/
Komentar
Posting Komentar