LEAP: Sudah Selesaikah Kita dengan Kehidupan di “Gurun Beku” Itu?
Penulis: Moh. Fikri Aulya Nor (Bandung, Jawa Barat)
Gurun Kematian
Di ujung langit, terdapat sebuah titik kecil berwarna merah, seperti kumpulan tetes darah prajurit dalam perang, yang dikorbankan untuk para dewa. Namun, bintang itu bukanlah dewa, melainkan sebuah dunia lain, dunia yang seperti kita. Sebuah daratan gurun yang luasnya sejauh mata memandang tanpa birunya samudera. Walaupun begitu, di sana juga terdapat pegunungan dan lembah-lembah. Yang paling menarik adalah adanya ngarai raksasa, lembah “super raksasa”, yang belakangan disebut Mariner Valley. Ngarai itu tampak seperti kanal-kanal buatan manusia, bukan buatan alam.Sebentar! Apakah hal ini berarti ada manusia juga di sana? Manusia di dunia lain?
Hal itulah yang mungkin dipikirkan Schiaparelli pada tahun 1877, saat peta pertama planet Mars dibuat. Orang-orang pun mulai berimajinasi mengenai adanya peradaban lain di planet itu. Salah satunya adalah cerita tentang John Carter, seorang veteran Perang Sipil Amerika, yang menemukan peninggalan teknologi yang dapat membawanya ke Mars. Di sana, ia melakukan petualangan seru, bertemu makhluk-makhluk di sana, dan akhirnya menikahi putri Mars, Dejah Thorris. Kisah ini pun sudah diangkat ke layar lebar.
Kemudian, teknologi semakin berkembang sehingga kita dapat mengetahui lebih banyak tentang planet merah itu. Belakangan diketahui bahwa kondisi di sana sangatlah tidak layak untuk dihuni bagi kehidupan apapun. Berdasarkan pengamatan landas bumi, orbit, maupun pengujian insitu, didapatkan beberapa informasi yang tidak menggembirakan. Temperatur permukaan Mars ternyata sangatlah dingin untuk kehidupan, yakni sekitar -85C hingga -50 C. Selain itu, atmosfernya sangatlah tipis, sehingga air di sana hanya bisa dalam bentuk es atau uap. Padahal, air dalam bentuk cair merupakan hal yang sangat vital bagi kehidupan. Akibatnya, lingkungan Mars sangatlah kering dan dingin, sehingga menyerupai “gurun yang beku”.
Selain itu, atmosfer tipis yang mayoritas mengandung CO2 ditambah medan magnet Mars yang sangat lemah membuat radiasi berbahaya dapat masuk dengan mudahnya ke permukaan. Padahal, radiasi UV dan sinar kosmik dari matahari dan ruang angkasa dapat mengubah struktur molekul (denaturasi), menyebabkan mutasi, bahkan merusak DNA. Menurut Rummel dan rekan-rekannya, kondisi radiasi UV di Mars sangat mematikan untuk mikroba. Apalagi dengan organisme multiseluler yang kompleks seperti manusia.
Oleh karena itu, sepertinya harapan adanya kehidupan di sana pupus. Imajinasi kita untuk bertemu peradaban asing yang cerdas, bertemu putrinya seperti John Carter, tidak akan terwujud. Para pemburu alien yang bahkan sudah mencari kehidupan asing hingga ke tata surya lain pasti akan kecewa. Kini kita tahu bahwa planet merah itu sejatinya adalah “gurun kematian”.
Sebentar! Kematian!? Apakah itu artinya ia pernah “hidup” atau dari awal memang sudah mati?
Sebelum Kematian
Beruntungnya, Mars mempunyai kemungkinan sejarah kehidupan sebelum kematiannya. Ia merupakan salah satu lokasi di tata surya kita yang memungkinkan untuk menunjang kehidupan, setidaknya untuk ratusan juta tahun yang lalu. Ketika itu, Mars diyakini pernah memiliki air mengalir dan iklim yang relatif hangat karena keberadaan atmosfer CO2 yang cukup tebal (1-5 bar) untuk mempertahankan efek rumah kaca. Hal ini dibuktikan dengan adanya bekas-bekas sungai yang masih utuh di sana. Pada tahun 2013, hasil dari penelusuran rover NASA, Curiosity, menunjukkan bahwa Kawah Gale di daerah Aeolis Palus dulunya merupakan danau kuno yang layak hidup bagi mikroba. Tetapi, berhentinya aktivitas vulkanik menyebabkan gas CO2 perlahan berkurang akibat tergerus siklus di lautan. Akibatnya, temperatur permukaan dan tekanan atmosfernya pun terus menurun hingga seperti sekarang.Sementara itu, radiasi UV Matahari yang dapat dengan mudah menembus atmosfer tanpa ozon itu mulai menguapkan seluruh air di samudera. Proses penguapan tersebut dinamakan fotolisis, menghasilkan gas hidrogen dan oksigen. Gas hidrogen yang masanya sangat ringan terlempar ke luar angkasa karena kecilnya gravitasi Mars. Sementara itu, gas oksigen bereaksi dengan bebatuan Mars dan menyebabkan korosi atau “pengkaratan” batuan Mars. Akibatnya, sekarang planet itu berwarna merah. Mungkin warna itu memang merupakan simbol “darah” dan “kematian”.
Kembali lagi sebelum kematian Mars. Jika kondisi Mars sebelumnya pernah begitu ramah dengan kehidupan, apakah kehidupan itu sendiri pernah ada?
Jejak Kehidupan
Pada Agustus 1996, para ilmuwan NASA menemukan adanya jejak-jejak kehidupan pada meteorit bernama ALH84001 yang diduga berasal dari Mars dan berusia 4,5 milyar tahun. Mereka melaporkan adanya fitur mikroskopis dan anomali geokimia. Kemungkinan meteorit itu menampung bakteri Mars di masa lalu. Tetapi, banyak komunitas ilmiah membantah klaim tersebut di kemudian hari.Pada tahun 1975, wahana Viking melakukan misi selama dua tahun untuk menyelidiki permukaan Mars secara langsung. Dari misi tersebut, memang tidak ada gambar alien yang tertangkap kamera, tetapi eksperimen perubahan gas (gas exchange experiment) dengan tanah Mars menunjukkan hasil positif yang menyerupai hasil dari metabolisme makhluk hidup. Namun setelah melalui labelled release experiment, hasilnya negatif. Kesimpulan yang diperoleh pun inkonklusif. Sempat ada argumen bahwa barangkali kehidupan di sana memang ada, tetapi tidak seperti di Bumi. Belakangan, terungkap bahwa hal tersebut memang bukan disebabkan oleh aktivitas biologis, melainkan oleh pemanasan perklorat, menurut data dari wahana Phoenix pada tahun 2008.
Pada tahun 2004, ditemukan jejak Metana yang diproduksi di Mars sebesar 270 ton per tahun. Padahal, aktivitas vulkanik sudah tidak aktif sejak lama sehingga kecil kemungkinan bahwa hal tersebut disebabkan oleh geologi dari Mars. Sumber lain, yakni asteroid, hanya menyumbang 0,8% dari produksi tersebut. Sebuah riset pada tahun 2012 menyatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh meteorit yang mengandung senyawa organik dan terurai karena radiasi UV. Namun, keberadaan metanogen juga dimungkinkan sebagai penyebab hal tersebut, menurut studi dari Universitas Arkansas tahun 2015. Studi terakhir (2018) mengatakan bahwa pelepasan metana terjadi akibat suatu siklus musiman, namun belum diketahui pasti penyebabnya.
Dari beberapa bukti yang telah dipaparkan, memang belum ada bukti langsung, seperti fosil, yang ditemukan di Mars. Dan memang menurut Hansson, kita akan sangat sulit menemukan hal tersebut. Fosil jejak mikroba merupakan hal yang lebih realistis untuk dicari, daripada fosil mikroba itu sendiri, apalagi fosil organisme yang lebih kompleks. Hal ini karena jika kehidupan di Mars pernah ada, ia tidak akan sampai berevolusi melebihi level mikroorganisme.
Andaikan kehidupan di Mars pernah ada. Tetapi sekarang kita tahu bahwa Mars sudah tidak mempunyai harapan untuk kehidupan. Sekarang, ia sudah mati! Oleh karena itu, bukankah kita seharusnya sudah selesai dengan “gurun beku” itu?!
Kehidupan Itu Tangguh!
Kita tahu bahwa kehidupan sangatlah kompleks dan ada banyak faktor yang harus diperhitungkan. Mulai dari air, temperature, zat-zat nutrien, sumber energi, radiasi UV, sinar kosmik, dan lain-lain. Bahkan menurut perpektif biofisika, hal-hal tersebut tidak selalu menjadi patokan dan yang terpenting adalah adanya siklus materi dan energi dalam kondisi yang dinamis.Kita tahu bahwa kehidupan sangatlah tangguh. Di Bumi, ia bisa mengembalikan keadannya seperti semula setelah melewati beberapa kiamat. Contohnya adalah yang terakhir terjadi di era Cretaceous, 145,4-65,5 juta tahun lalu, di mana Dinosaurus punah karena dampak meteor. Atmosfer yang tiba-tiba berubah kaya oksigen pada era Archaezoikum menyebabkan bakteri metanogen keracunan dan hampir punah, kecuali yang tinggal di laut dalam dan dekat dengan kawah panas. Iklim yang berubah ekstrem, seperti yang terjadi pada zaman es era Pleistosen, tidak lantas memusnahkan spesies, seperti manusia.
Selain itu, kita juga menemukan kehidupan yang mampu bertahan di lingkungan ekstrem yang disebut organisme extremophile. Contohnya adalah tardigrade. Organisme dapat ditemukan di banyak tempat dan tersebar hampir merata di Bumi. Organisme itu mampu bertahan dari kondisi kelebihan maupun kekurangan air dan terpapar radiasi UV dalam jangka waktu lama. Usia tardigrade juga sangat panjang untuk spesies yang berukuran kecil seperti itu. Sebuah studi melaporkan sebuah tardigrade yang berusia 100 tahun.
Bahkan kehidupan akan tetap bertahan meskipun ia berusaha untuk menghancurkan dirinya sendiri. Dengan seluruh senjata nuklir manusia, kehidupan hanya akan musnah sekitar 90% untuk kemudian pulih kembali (Kurzgesagt, 2014). Kehidupan mikroorganisme akan tetap bertahan, khususnya organisme extremophile untuk kemudian berevolusi lagi selama jutaaan tahun menghasilkan organisme kompleks kembali.
Baik, jika kehidupan masih ada? Lantas di mana kita harus mencarinya, sedangkan atmosfernya terlalu tipis dan permukaannya saja tidak memungkinkan?
Belum Usai: Sebuah Harapan
Sekali lagi, hal pertama yang harus dicari ketika mencari kehidupan adalah air. Menurut pepatah di kalangan astrobiologis, “follow the water!”. Bukan sekadar air, tetapi air dalam bentuk cair. Air cair sangat penting karena ia merupakan medium dari hampir semua reaksi senyawa-senyawa organik. Selain itu, ia juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan termodinamika dalam tubuh makhluk hidup.
Berdasarkan data MARSIS, air dalam bentuk cair telah ditemukan di kutub selatan dengan kedalaman 1,5 km di bawah lapisan es CO2. Tekanan tanah yang tinggi, keberadaan garam, dan panas interior Mars menyebabkan air tidak membeku pada temperatur yang seharusnya. Selain itu, kedalaman ini membuat penetrasi sinar UV yang hanya dapat menembus tanah beberapa milimeter, bergantung sifat tanah, tidak mengusik kehidupan yang mungkin ada di dalamnya.
Kemudian, penemuan senyawa-senyawa organik dalam jumlah banyak ditemukan dalam Kawah Gale tadi juga dapat menjadi indikasi adanya kehidupan yang masih di sana. Namun, jika kehidupan itu ada, maka ia harus berada di bawah permukaan Mars.
“Jika ada kehidupan, itu kemungkinan harus dilindungi di bawah permukaan dari radiasi,” ujar Ali Bramson, peneliti di Lunar and Planetary Laboratory, University of Arizona. Artinya, secercah harapan akan kehidupan di Mars belum sepenuhnya sirna. Misi untuk melakukan penyelidikan yang lebih mendalam, seperti Mars InSight yang sedang dilakukan, Mars Sample Return, hingga Mars Astrobiology Field Laboratory yang kelak terwujud sangatlah dinantikan untuk memastikan hal tersebut.
Daftar Rujukan
- Beaty, D., dkk. 2006. Findings of the Mars Special Regions Science Analysis Group. Astrobiology. 6 (5): 677–732.
- Chang, Kenneth. 2013. On Mars, an Ancient Lake and Perhaps Life. New York Times. Archived from the original on December 9, 2013.
- Hansson, Anders. 1991. Mars and The Development of Life. UK: Ellies Horwood.
- Haryadi, Rohmat. 2013. Jejak Kehidupan di Planet Lain. Jakarta: ReneBook.
- Keppler, Frank, dkk. 2012. Ultraviolet-Radiation-Induced Methane Emissions From Meteorites And The Martian Atmosphere. Nature. 486(7401): 93–6.
- Kurzgesagt. 2014. Are You Alone? (In The Universe). (Online). Diunduh dari https://www.youtu.be/PKMQzkliB0Y pada tanggal 22 Februari 2019.
- McKay, D.S, dkk. 1996. Search for Past Life on Mars: Possible Relic Biogenic Activity in Martian Meteorite ALH8400 1. Science.
- Orosei, R., dkk. 2018. Radar Evidence of Subglacial Liquid Water on Mars. Science.
- Rummel, John D, dkk. 2014. A New Analysis of Mars “Special Regions”: Findings of the Second MEPAG Special Regions Science Analysis Group (SR-SAG2) (PDF). Astrobiology. 14 (11): 887–968.
- Ulmschneider, Peter. 2006. Intelligent Life in The Universe. Berlin: Springer.
- University of Arkansas, Fayetteville. Earth organisms survive under low-pressure Martian conditions. ScienceDaily. ScienceDaily, 2 Juni 2015. Diakses pada tanggal 20 April 2019 dari www.sciencedaily.com/releases/2015/06/150602125843.htm.
- Webster, Christopher R., dkk. 2018. Background Levels Of Methane In Mars’ Atmosphere Show Strong Seasonal Variations. Science. 360 (6393): 1093–1096.
Dipublikasikan 2 September 2019 di
Komentar
Posting Komentar